Dua Sajak Lama
Biar blog ini kelihatan aktif, sementara belum ada tulisan yang bisa saya hasilkan. Lebih baik saya muat sajak lama yang saya buat dahulu kala. Walaupun jelek, tapi toh saya sudah berusaha. Maklum saya bukan Chairil Anwar, Soe Hok Gie, Kahlil Gibran, atau Sapardi Djoko Darmono yang puisinya banyak di nukil sama mba Diary Hujan. Bahkan saya juga bukan Soetarji Chalsoem Bachri yang puisinya banyak dinukil guru bahasa SMP saya dulu, salah satunya adalah Syairnya yang dibacanya sambil Mabuk yang berjudul ka-win, yang tidak lain hanya berisi dua suku kata tersebut yang dibolak-balik saja (dasar guru saya dan idolanya sama-sama gila).
Karena saya masih rindu dengan Ibu Kota saya mulai dengan sajak yang saya buat ketika mengadakan rapat di Lantai 10 Gedung BPK-RI Pusat, sekitar pukul 17.25 WIB. Berikut adalah buah keisengan saya di tengah-tengah rapat yang agak serius.
Hari-hari semakin terasa cepat berlalu melelahkan
Ketika perjuangan ini telah divonis mati!!!
Realita memang selalu pandai berkata-kata
Tidaklah cukup argumentasi untuk membuktikan bahwa dia salah
Dan aku akan selalu merindukanmu
Saat kita duduk bersama menikmati waktu yang seakan tak ada habisnya
Perenungan panjang pencarian sebuah makna
Hakikat dari apa yang kita perjuangkan berlandaskan doktrin yang bertahun-tahun kita telan mentah-mentah
Kita tertampar dengan telak oleh tangan-tangan besi yang telah berafiliasi dengan makhluk yang bernama birokrasi
Tak jarang kita tersungkur berkalang tanah, setiap kali kita dibelai dalam buaian induk kita sendiri
Ketika kita tersadar kita tidak sedang bermimpi, hari sudah terlalu larut
Menyesalkah karena kita terbangun terlalu dini?
Saya kira tidak, rona merah cakrawala timur terlalu indah untuk dilewatkan
lonceng kematian telah berdentang…
Aku berbisik lirih, kita telah kalah…
Kembali kulihat seutas senyum tersimpul diujung gurat-gurat luka
Bahagia, teringat betapa manisnya perjuangan ini…
“Medan juang masih jauh, masih banyak tugas yang belum kita kerjakan”, katamu
kita pernah kalah namun kita tetap tak terkalahkan
Tlah dikurung dalam keranda rasa iba dan solidaritas
Diusung oleh saudara-saudara kita sendiri
Berjalan tertunduk seakan-akan kita tidak terlahir dari rahim yang sama
Tak pernah kubayangkan begitu cepat mereka menaati titah sang raja
Seperti katamu, walau jasad ini mati, cahaya yang sudah terlanjur kita sulut akan tetap mengobarkan semangatnya
Bertahanlah kawan
Kita tidak sendiri
Bukankah kita tlah lupa bagaimana cara menitihkan air mata
Akan tiba saatnya kita menemukan sekotak pelangi
Sehingga tak perlu lagi kita memupus asa
NB: Diposting ketika cuaca kota Makassar benar-benar panass, jadi membayangkan mesir yang jadi background sebuah “novel islami” (??)
Karena saya masih rindu dengan Ibu Kota saya mulai dengan sajak yang saya buat ketika mengadakan rapat di Lantai 10 Gedung BPK-RI Pusat, sekitar pukul 17.25 WIB. Berikut adalah buah keisengan saya di tengah-tengah rapat yang agak serius.
Langit Senja Kota Jakarta
Seruak jingga diantara rimba beton terburai indah, memanjakan hasrat
Teriring mobilisasi kaum urban kota ini
Denyut nadi kota ini masih berlanjut ke irama yang berbeda, Langit senjaku mulai buram, dilebur cahaya malam di tiap jengkal tanah yang seakan tidak menyisakan ruang untuk anak-anak kecil bermain layang-layang seperti masa kecilku dulu
Geliat kota ini tidak akan pernah berhenti menawarkan harapan bagi segenap manusia yang mempunyai mimpi
Aku masih mengucap syukur atas pemandangan ini, walau tak seindah bintang-bintang di padang edellweiss surya kencana, kabut ranukumbolo, atau matahari terbit di puncak gunung gede, kerinci, maupun mahameru
Terimakasih ya Rabb sungguh engkau Maha Pencipta yang indah
Sementara, sajak berikut timbul dari amarah saya dan rekan-rekan saya karena merasa telah di dzolimi oleh beberapa oknum atas nama jabatan. Sekaligus pembelaan bahwa kami bukanlah sekedar anak muda yang tidak mengerti tata krama dan etika kantor pemerintahan. Beberapa baitnya saya pinjam dari Ummu Qatadah Chacha Salsabilah, yang pandai merangkai kata-kata.
Tak akan berhenti sampai disini
Ketika perjuangan ini telah divonis mati!!!
Realita memang selalu pandai berkata-kata
Tidaklah cukup argumentasi untuk membuktikan bahwa dia salah
Dan aku akan selalu merindukanmu
Saat kita duduk bersama menikmati waktu yang seakan tak ada habisnya
Perenungan panjang pencarian sebuah makna
Hakikat dari apa yang kita perjuangkan berlandaskan doktrin yang bertahun-tahun kita telan mentah-mentah
Kita tertampar dengan telak oleh tangan-tangan besi yang telah berafiliasi dengan makhluk yang bernama birokrasi
Tak jarang kita tersungkur berkalang tanah, setiap kali kita dibelai dalam buaian induk kita sendiri
Ketika kita tersadar kita tidak sedang bermimpi, hari sudah terlalu larut
Menyesalkah karena kita terbangun terlalu dini?
Saya kira tidak, rona merah cakrawala timur terlalu indah untuk dilewatkan
lonceng kematian telah berdentang…
Aku berbisik lirih, kita telah kalah…
Kembali kulihat seutas senyum tersimpul diujung gurat-gurat luka
Bahagia, teringat betapa manisnya perjuangan ini…
“Medan juang masih jauh, masih banyak tugas yang belum kita kerjakan”, katamu
kita pernah kalah namun kita tetap tak terkalahkan
Tlah dikurung dalam keranda rasa iba dan solidaritas
Diusung oleh saudara-saudara kita sendiri
Berjalan tertunduk seakan-akan kita tidak terlahir dari rahim yang sama
Tak pernah kubayangkan begitu cepat mereka menaati titah sang raja
Seperti katamu, walau jasad ini mati, cahaya yang sudah terlanjur kita sulut akan tetap mengobarkan semangatnya
Bertahanlah kawan
Kita tidak sendiri
Bukankah kita tlah lupa bagaimana cara menitihkan air mata
Akan tiba saatnya kita menemukan sekotak pelangi
Sehingga tak perlu lagi kita memupus asa
NB: Diposting ketika cuaca kota Makassar benar-benar panass, jadi membayangkan mesir yang jadi background sebuah “novel islami” (??)
Be the first to like this post.
mungkin takut ma sirwal ana kali ya kalo lagi di kantor… ^_^
Namun semua itu sebenarnya punya maka tersendiri yang ana tangkap… Kapan-kapan saya syarah… :p